ISTRI DURHAKA DIANCAM DENGAN NERAKA
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Islam adalah agama sempurna. Di antara bukti kesempurnaannya adalah Islam memerintahkan kepada umatnya yang telah mampu menikah untuk menikah. Pernikahan akan berjalan dengan baik, jika pasangan suami istri memahami kewajibannya yang menjadi hak pasangannya, kemudian melaksanakan kewajiban itu dengan baik. Suami berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik dan menjaga mereka dari siksa api neraka. Sedangkan istri berkewajiban mentaati suaminya dalam perkara yang ma’ruf sesuai dengan kemampuannya. Jika istri melakukan kewajibannya kepada suami dengan sebaik-baiknya, setelah mentaati Allâh l , maka ia akan meraih surga-Nya. Sebagaimana diberitakan oleh Nabi yang mulia di dalam haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” [HR Ibnu Hibban, no. 4163. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits hasan oleh syaikh Al-Albani dan dihukumi sebagai hadits shahih oleh syaikh Syu’aib al-Arnauth]
ISTRI NUSYUZ
Kehidupan adalah ladang ujian, sedangkan akhirat merupakan saat memetik hasilnya. Terkadang di dalam rumah tangga, seorang laki-laki diuji dengan kedurhakaan istri. Di dalam istilah agama disebut dengan nusyûz. Wanita nusyûz kepada suami artinya membangkang dan bersikap buruk (Lihat: Mu’jamul Wasith, bab: na-sya-za) Para Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan definisi bahwa nusyûz adalah keluarnya istri dari ketaatan yang wajib kepada suami (istri tidak menjalankan kewajiban taat kepada suami-red). Perbuatan nusyûz (dalam artian bersikap tidak baik), sebenarnya bisa bersumber dari suami kepada istri atau sebaliknya, tetapi yang terkenal adalah sikap buruk yang bersumber dari istri kepada suami. [Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 40/284]
Para Ulama menyatakan bahwa nusyûz termasuk perbuatan dosa, karena istri menyelisihi kewajibannya untuk mentaati suami, padahal kedudukan suami bagi istri itu sangat agung.
Banyak keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hak suami yang begitu tinggi kepada istrinya, sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka tentu aku sudah memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya”. [HR. At-Tirmidzi, no. 1159. Syaikh Albani berkata, “Hadis hasan shahih.”]
Bentuk-Bentuk Nusyûz Dan Ancamannya
Nusyûz atau kedurhakaan istri kepada suami sangat banyak bentuknya. Berikut ini di antara contohnya:
1. Tidak Bersyukur Kepada Suami
Kebaikan suami kepada istri itu begitu banyak. Mulai dari nafkah kepada keluarga, menjaga anak istri, memberikan ketenangan dan ketentraman rumah tangga, dan lainnya. Maka kewajiban istri adalah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla kemudian kepada suaminya. Tidak bersyukur kepada suami menjadi sebab kemurkaan Allâh kepada seorang istri, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Nabi berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لَا تَشْكَرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لَا تَسْتَغْنِي عَنْهُ
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allâh tidak akan melihat seorang istri yang tidak berterima kasih kepada (kebaikan) suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya”. [HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 9086]
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sikap istri yang tidak bersyukur kepada suami merupakan sebab banyaknya wanita masuk neraka.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka telah diperlihatkan kepadaku, ternyata mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka kufur (mengingkari)”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apakah mereka kufur (mengingkari) Allâh?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka mengingkari suami dan mengingkari perbuatan kebaikan. Jika engkau telah berbuat kebaikan kepada seorang wanita (istri) dalam waktu lama, kemudian dia melihat sesuatu (yang menyakitkannya-red) darimu, dia berkata, “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu!”. [HR. Al-Bukhâri, no. 29 dan Muslim, no. 884]
Yang dimaksud bersyukur kepada kebaikan suami bukan sekedar mengakui kebaikannya. Sebab kata “syukur” di dalam Bahasa arab itu dilakukan oleh hati, lidah, dan anggota badan. Oleh karena itu istri wajib mengakui berbagai kebaikan suami dengan hatinya, mengungkapkan dengan lidahnya, dan melakukan segala yang menyenangkan suaminya dengan anggota badannya.
2. Menyakiti Suami
Termasuk kewajiban istri adalah mentaati perintah suami dan menyenangkan ketika dilihat suami. Ketika istri berbuat sebaliknya, yaitu menyakiti suami yang Mukmin, dengan bentuk apapun, maka dia akan mendapatkan murka Allâh Azza wa Jalla , bahkan murka bidadari surga yang akan menjadi istrinya. Di dalam hadits shahih disebutkan:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الحُورِ العِينِ: لاَ تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
Dari Mu’adz bin Jabal, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allâh memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu, hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami.” [HR. At-Tirmidzi, no. 1174; Ibnu Majah, no. 2014. Hadits ini dihukumi sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani]
3. Menolak Ajakan Suami
Istri berkewajiban melayani suami sebatas kemampuannya asal bukan dalam perkara maksiat. Termasuk ketika suami mengajaknya ke tempat tidurnya, maka istri tidak boleh menolak.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidurnya, namun istrinya enggan (datang), lalu suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, malaikat melaknat isteri itu sampai masuk waktu subuh.” [HR. Al-Bukhâri, no. 3237, 5193 dan Muslim, no. 1436]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil tentang haramnya istri menolak ajakan suami ke tempat tidur tanpa halangan syar’i. Dan haidh bukan merupakan halangan menolak, sebab suami punya hak bersenang-senang dengan istrinya di atas sarungnya (maksudnya boleh bersenang-senang selama bukan jima’-pen)”. [Syarah Nawawi, 10/7-8]
4. Keluar Rumah Tanpa Idzin
Seorang istri tempatnya di rumah, dia tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan hendaklah kamu (para istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allâh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al Ahzâb/33: 33]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan.” [Tafsir Al Quran Al Adzim, 6/408]
Syaikhul Islam berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar rumahnya tanpa izin suaminya. Tidak halal bagi seorangpun menjemputnya dan menahannya dari suaminya, baik dia sebagai wanita yang menyusui, atau sebagai dukun bayi (bidan), atau pekerjaan lainnya. Jika dia keluar rumah tanpa izin suaminya, berarti ia telah berbuat nusyûz (durhaka), bermaksiat kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan layak mendapat hukuman.” [Majmu’ Fatawa, 32/281]
Setelah kita mengetahui hak besar suami atas istrinya, maka selayaknya para wanita memperhatikannya, sehingga membawa kebahagiaan bagi keluarganya, Wallâhul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11050-istri-durhaka-diancam-neraka.html