Mengalah Untuk Menang

Hampir tidak ada rumah tangga yang tanpa konflik sama sekali. Pasangan terakhir yang hidup bahagia selamanya barangkali hanya terdapat dalam dongeng seperti Snow White atau dalam film Pretty Woman. Bahkan meskipun Anda memiliki komitmen terhadap pasangan Anda, akan masih ada saat-saat ketika di antara Anda ada ketegangan, air mata, pertengkaran, ketidakcocokan, dan ketidaksabaran. Komitmen tidak menghapuskan kodrat manusiawi kita! Itu kabar baik, tetapi realistis!

Adalah sebuah kenyataan bahwa bersatunya seorang lelaki dan seorang perempuan dalam sebuah ikatan pasti menciptakan beragam masalah ketidakcocokan. Karena itu George Levinger memberikan nasihat yang indah sekali, “Yang berperan dalam membuat sebuah perkawinan bahagia bukanlah berapa banyak Anda saling berkesuaian, melainkan bagaimana Anda mengatasi ketidaksesuaian. Perbedaan-perbedaan yang sudah ada sejak sebelum perkawinan semakin tampak ketika dua orang tinggal bersama. Kita berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki kepribadian sendiri-sendiri, memandang dunia lewat perspektif yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mungkin tidak menyenangkan bagi yang lain. Pikiran kita tidak sama, reaksi kita tidak sama, cara kita bertindak pun tidak sama. Ini bisa mengundang frustrasi. Oleh sebab itu, alih-alih ngotot berusaha agar ikatan semakin ketat, belajar untuk melonggarkannya barang sedikit.”

Dan jika Anda mengalami konflik dengan pasangan Anda maka ikutilah saran dari Oglen Nash, “Agar perkawinan Anda tetap membahagiakan dengan mangkuk cinta yang terus ada isinya, ketika Anda salah, akuilah. Namun ketika Anda benar, jangan bicara.”


Tapi sayangnya, kebanyakan pasangan berhenti di tengah jalan hanya karena mereka tak dapat saling mengalah. Hasrat ingin menang yang begitu tinggi telah mengobarkan api yang diikuti dengan berkembangnya perbantahan yang tak kunjung selesai. Saya teringat dengan seorang perempuan yang mencari nasihat tentang perkawinannya. “Setiap kali kami bertengkar,” kata perempuan itu, “suami saya menjadi historis.” “Maksud Anda histeris?” tanya saya. “Bukan, yang saya maksudkan historis! Ia selalu mengungkit masa lalu.”

Sebagai seorang konsultan keluarga dan perceraian, saya sering menemui pasangan yang sama-sama keras, tak mau mengalah, apalagi menyangkut hak pengasuhan anak dan harta gono-gini. Kedua pihak sama-sama memiliki ego yang berlebihan apalagi menyangkut hak pengasuhan anak. Keduanya merasa sangat sayang, ingin melindungi, dan tak ingin anak-anaknya jatuh ke mantan pasangannya hanya karena merasa dialah yang paling berhak, paling suci dan paling bisa merawat dan mengasuh anaknya.

Yang sering mereka lupakan adalah, ketika mereka bercerai dan asyik memperebutkan hak pengasuhan anak mereka, si anak justru merasa jiwanya tertekan, batinnya terguncang, apalagi jika mereka lalu dijadikan komoditas publik sebagai ajang mencari pembenaran sebagaimana yang kita lihat di tayangan televisi. Orang tua seperti itu lupa bahwa, mereka berdua telah memperebutkan sebuah pepesan kosong, karena siapa pun yang menang, dalam artian yang berhak mengasuh atau menjadi wali dari si anak, kemenangannya terasa kosong. Sebab ada pihak lain yang terluka –yaitu anak-anak mereka sendiri dan pihak yang kalah-, si pemenang tidak akan pernah mendapatkan kerelaan hati dari pihak lainnya.

Lagi pula Islam melarang orang tua untuk berlepas tangan dari tanggung jawab terhadap anaknya. Diriwayatkan dari Muadz bin Anas ra bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt mempunyai para hamba yang tidak akan diajak bicara pada hari Kiamat, tidak akan disucikan dan tidak akan dilihat oleh-Nya.” Seorang sahabat bertanya, “Siapa mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang lepas tangan dari kedua orang tuanya, benci kepada orang tuanya, dan orang yang berlepas tangan dari anaknya.” Hr. Ahmad dan Thabrani.

Saya sering menyarankan agar mereka berdamai, apa pun keputusannya; bercerai atau tidak bercerai. Tak usah menyimpan kebencian apalagi dendam. Karena setiap peperangan tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali kekalahan. Kemenangan –kalau toh ada- hanya berada di atas kertas, karena siapa pun pihak yang keluar sebagai pemenang, ia akan menjadi arang, dan pihak yang kalah akan menjadi abu.

Barangkali itulah sebabnya Ben Franklin memiliki keyakinan bahwa, “Ketika Anda bertengkar, saling menyinggung, dan saling menjatuhkan, Anda kadang-kadang bisa meraih kemenangan, tetapi kemenangan itu akan terasa kosong karena Anda tidak akan pernah mendapatkan kerelaan hati dari lawan Anda.”

Saudaraku, saya sering berfikir bahwa tidak mungkin terjadi pertengkaran atau percekcokan di antara dua orang apabila salah seorang tidak mau diajak bertengkar. Maka, saya berpikir tentang hal berikut: Biarkan orang lain merasa benar sampai situasi panas mereda, kemudian Anda dapat mendiskusikan masalahnya secara rasional.

Tak perlu menjadi manusia munafik yang lisannya memberikan atau meminta maaf tapi hatinya justru tak dapat melupakan. Maaf yang hanya di kulit luar seperti ini dapat menyebabkan kita terus bergelimang dalam penyesalan diri. Mengatakan “aku memaafkanmu” tetapi diikuti dengan berbagai syarat pada hakikatnya sama dengan tidak memberikan maaf sama sekali.

Sebagai mahluk sosial dan spiritual, kita butuh merasa diterima, merasa disetujui, merasa dihargai, dan persahabatan dengan teman-teman sesama manusia. Banyak orang tidak mengerti bahwa kebutuhan akan persahabatan sungguh sama mendalamnya dengan kebutuhan akan makanan, maka mereka menjalani hidup dengan menerima berbagai pengganti atas hubungan-hubungan yang tulus, hangat dan bersahaja.

Jika hubungan Anda terganggu, tak perlu bersikap arogan, apalagi jika Anda berada dalam posisi yang benar. Karena hidup tanpa orang lain, tanpa orang yang sama hari demi hari, orang-orang yang menjadi milik kita, orang-orang yang hadir untuk kita, orang-orang yang membutuhkan kita dan sebaliknya juga kita butuhkan, mungkin memuaskan dalam tolok-ukur lain, tetapi dari segi kemanusiaan, itu sama sekali bukan hidup.

Perjuangan mengumpulkan harta, usaha meraih kepuasan diri, upaya mendapatkan promosi, atau usaha menuntaskan sebuah kontrak bisnis, semuanya akan menjadi hampa bila tanpa unsur yang manusiawi. Kita terlalu mudah mengabaikan bahwa hubungan kita dengan sesamalah yang bisa membesarkan hati kita dan mengenyangkan jiwa kita. Karena itu saudaraku, mengalahlah untuk sebuah kemenangan yang besar!

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentari apa yang telah anda baca...

..... SEMOGA BERMANFAAT .....