Suami Istri harusnya saling melengkapi

"Banyak orang menikah, tetapi hanya beberapa di antara mereka yang benar-benar menyatu dengan mengkombinasikan kelebihan masing-masing dan  membuat mereka menjadi lebih kuat dibandingkan ketika masih seorang diri." 
(Jeff Herring, terapis dan konselor perkawinan dan keluarga)

Isna begitu kesal ketika kebiasaan cuek Wahid mulai “kumat”. Pasalnya, Isna yang juga bekerja, merasa beban tugasnya sebagai istri lebih berat: turut memenuhi kebutuhan finansial, mengurus anak dan rumah tangga. Sementara Wahid belakangan cenderung memilih jadi “orang belakang layar”. Padahal ia bersama Isna sejak awal telah berkomitmen untuk kompak terlibat dalam mengelola urusan rumah tangga dan anak.

Oleh karena tidak sesuai dengan kesepakatan semula bahwa tugas rumah tangga dan mengurus anak adalah beban bersama, tentu saja complain Isna beralasan. Perihal pembawaannya yang cenderung introvert, Wahid mengaku ini merupakan kekurangannya. Meskipun begitu ia tidak terima dikatakan cuek. Sebab, dengan cara uniknya ini, Wahid sebenarnya selalu mendukung Isna.

Saling melengkapi

Situasi yang dihadapi Isna terdengar akrab di telinga? Mungkin situasi ini tak hanya dialami Anda para istri, melainkan juga Anda para suami. Kerja tim dalam sebuah pernikahan adalah sesuatu yang penting sekaligus sesuatu yang tak mudah dipraktikkan. Demikian pendapat Jeff Herring, konsultan perkawinan dan keluarga, serta karir dan leadership di Tallahassee, Amerika Serikat. Sejak awal sebuah pernikahan dijalankan, tentu kata ganti “aku” berganti menjadi “kita”.

Sebagai individu tentu saja, perwujudan dari kata “kami” atau “kita” ini sedikit problematis. Selain karena setiap individu memiliki keunikan, dorongan untuk mengutamakan keperluan diri sendiri – yang merupakan sesuatu yang manusiawi – sering tercetus dan menimbulkan dilema. Kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat masing-masing adalah yang paling benar juga tak jarang memicu masalah dalam team working.

Padahal sebagaimana selama ini kita pahami, kerja tim dalam sebuah pernikahan pada dasarnya berpegang pada prinsip saling melengkapi. Termasuk di antaranya mempertimbangkan kapasitas masing-masing pasangan, agar suami-istri dapat saling mengisi kekurangan masing-masing pasangan.

Nah, untuk refleksi, ada baiknya Anda senantiasa mawas diri. Ketika diri Anda lebih banyak menggunakan “me approach” dibandingkan “we approach” cermati tanda-tandanya, lalu segera evaluasi. 

Cermati sinyal. Berikut ini adalah beberapa sinyal penanda apabila pendekatan “aku” menjadi lebih dominan dalam hubungan Anda dengan pasangan:

  • Anda berdua sulit menemukan kesepakatan atas sebuah masalah bersama
  • Anda berdua menghindari pembicaraan penting dan bahkan diskusi untuk sesuatu yang kecil dan tak terlalu penting. 
  • Anda dan pasangan masing-masing percaya cara yang dipilih oleh masing-masing bukan hanya cara terbaik, melainkan juga jalan satu-satunya.

Menghadapi situasi seperti di atas, Anda dapat melakukan beberapa hal, Diantaranya, seperti yang disarankan oleh Herring berikut ini. Terutama agar atmosfir dengan “we approach” terpelihara:

  • Ingatlah selalu bahwa pendapat dua orang hampir selalu lebih baik dibandingkan dengan pendapat satu orang saja. Dr. Gary Chapman, seorang konselor perkawinan ternama di Amerika, berpendapat, “Dua orang yang berkomitmen untuk mencari jalan keluar akan selalu menemukan sebuah solusi”.
  • Ingatlah bahwa pasangan Anda memiliki kemampuan dan ketrampilan yang mungkin tidak Anda miliki. Dengan saling memahami dan menghargai kapasitas masing-masing tentu masalah dalam kerja tim tak harus muncul. Sehingga, ada perasaan dihargai ketika salah satu pasangan mendapat “kehormatan” mengerjakan sebuah tugas yang tak mampu dilakukan pasangannya..
  • Salah satu faktor yang membuat pendekatan “kita” sulit diterapkan antara lain adalah Anda harus menyerahkan hak Anda untuk menganggap diri Anda benar. Bisa saja pendapat Anda benar, tetapi apakah nilai yang ini yang semata-mata dibutuhkan dalam pernikahan. Untuk menemukan kesepakatan, Anda juga harus mendengarkan input dari pasangan yang mungkin Anda anggap kurang begitu tepat, tetapi diyakini pasangan sebagai sesuatu yang memiliki nilai kebenaran. Ingatlah bahwa dalam menjalankan perkawinan Anda bisa saja benar atau Anda bisa saja merasa bahagia. Tetapi Anda tak dapat mendapatkan kedua-duanya sekaligus.
  • Hanya sedikit yang menikahi seseorang yang persis sama gaya penyelesaian masalah dengan dirinya. Sehingga, kunci penting untuk membangun hubungan suami-istri dengan team working yang baik adalah juga menjajal cara mendapatkan solusi a la pasangan Anda. Dengan cara ini Anda berdua pasti akan saling belajar banyak hal.
  • Pasangan kompak dalam sebuah pernikahan memiliki target yang jelas perihal relationship. Untuk itu, kesempatan berkomunikasi dan diskusi tentu penting. Gunakan selalu cara ini untuk mengevaluasi dan membicarakan komitmen dan mencari solusi.

Tentu saja untuk dapat menerapkan tips dari Hering ini, Anda dan pasangan harus memiliki komitmen untuk senantiasa berorientasi pada solusi atau pemecahan masalah. Kalau sudah begitu, apakah usul Anda atau pasangan yang digunakan tentu tak lagi jadi persoalan. Pun dalam hal bergiliran mengemban tugas atau mengambil alih peran. Asalkan sebelumnya beberapa hal penting sudah disepakati, tentu tak masalah menjadi “pemeran pengganti”, bukan?

Sumber: ayahbunda.co.id

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentari apa yang telah anda baca...

..... SEMOGA BERMANFAAT .....