Ketulusan mema'afkan adalah kunci kemuliaan diri. Dengan segala
kerendahan hati kami mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal
1432 H. Mohon Ma'af Lahir dan Bathin"
Bayangkan Anda sedang menghadiri pesta yang amat meriah. Semua orang
tampil dengan pakaian terbaik. Makanan yang dihidangkanpun tampak lezat
dan mengundang selera. Saat Anda antre untuk mengambil makanan,
tiba-tiba seseorang yang sangat Anda percaya berbisik di telinga Anda,
''Hati-hati, banyak makanan tak halal disini, bahkan ada beberapa yang
beracun!''
Saya berani menjamin Anda akan mengurungkan niat
mengambil makanan. Boleh jadi Anda pun langsung pulang ke rumah. Anda
benar, hanya orang bodohlah yang mau menyantap makanan tersebut. Kita
tak mau makan sembarangan. Kita sangat peduli pada kesehatan kita.
Anehnya, kita sering -- bahkan dengan sengaja -- memasukkan
''makanan-makanan beracun'' ke dalam pikiran kita. Kita tak sadar bahwa
inilah sumber penderitaan kita. Salah satu makanan yang paling berbahaya
tersebut bernama: ketidakmauan kita untuk memaafkan orang lain!
Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti
kebahagiaan
kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena dunia
berjalan tak sesuai dengan kemauan kita. Kita marah karena pasangan,
anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak melakukan apa
yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam kemarahan ini
berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.
Memang banyak sekali kejadian
yang memancing emosi kita. Pengendara motor yang memaki kita, mobil yang
menyalib dan hampir membuat kita celaka, orang yang membobol ATM kita,
adik yang sering minta bantuan tapi tak pernah mengucapkan terima kasih,
pembantu yang membohongi kita, maupun bos yang pelitnya luar biasa.
Kita mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah
sepantasnya kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan
hanyalah merugikan kita sendiri.
Sudah menjadi tabiat manusia,
tatkala hatinya disakiti, dia akan merasa sakit hati dan boleh jadi
berujung dengan kedendaman. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus
dendam setiap kali ada yang menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita
dizalimi, maka doakanlah orang-orang yang menzalimi itu agar bertaubat
dan menjadi orang saleh. Mampukah kita melakukannya?
Para Nabi-Nabi
adalah sosok yang hatinya bersih dari sifat dendam. Walau ia dihina,
dicacimaki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tak sedikit pun ia
mendendam. Bahkan, ia mati-matian berbuat baik kepada orang-orang
tersebut dan begitu ringannya ia memaafkan.
Penelitian menunjukkan
ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki dampak hebat terhadap tubuh
kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistem
kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam
tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit
seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang
energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia.
Baru-baru
ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mahasiswa yang
mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata, kebanyakan dari
mereka memendam berbagai kemarahan, baik kepada orang tua maupun
orang-orang di sekitar mereka. Salah seorang mengaku telah 10 tahun
memendam kebencian kepada wanita yang menjadi istri kedua ayahnya. Si
ayah yang dijuluki orang paling sholeh di kantornya tanpa diduga
mempunyai ''simpanan.'' Wanita ini kemudian dinikahinya, dan akhirnya
meninggal karena stroke lima tahun lalu. Tapi, kemarahan dan kebencian
si anak hingga kini belum juga mereda.
Musuh kita sebenarnya
bukanlah orang yang membenci kita tetapi orang yang kita benci. Ada
cerita mengenai seorang lelaki bekas tapol di zaman Orde Baru yang
mengunjungi kawannya sesama eks tapol. Sambil mengobrol si kawan
bertanya, ''Apakah kamu sudah melupakan rezim Orde Baru?'' Jawabnya,
''Ya, sudah.'' Si kawan kemudian berkata, ''Saya belum. Saya masih
sangat membenci mereka.'' Lelaki itu tertawa kecil dan berkata, ''Kalau
begitu, mereka masih memenjara dirimu.''
kita harus terus berlatih
untuk mengikis sifat dendam tersebut. Sebagai ilustrasi, kita bisa
belajar dari para karateka yang berhasil menghancurkan batubata dengan
tangannya. Pertama kali memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur.
Tapi, dia tak patah semangat. Diulanginya terus usaha untuk
menghancurkan bata tersebut. Akhirnya, pada pukulan kesekian, pada hari
kesekian, bata tersebut berhasil dihancurkan. Memang, tangannya
bengkak-bengkak, tetapi dia mendapatkan hasil yang diinginkan.
Begitu pula dengan hati. Jika hati dibiarkan sensitif, maka hati ini
akan mudah sekali terluka. Akan tetapi, jika hati sering dilatih, maka
hati kita akan semakin siap menghadapi pukulan dari berbagai arah. Jika
kita telah disakiti seseorang, kita jangan melihat orang tersebut,
tetapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan ladang amal kita terhadap
Yang Maha Kuasa. Kita akan semakin sakit, tatkala melihat dan mengingat
orangnya.
Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara
pandang kita. Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di
luar. Karena itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain.
Sebaliknya, belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami
ketidaktahuan. Banyak orang yang melakukan kesalahan karena
ketidaktahuan. Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun karena
mereka sebenarnya tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah
untuk orang lain tetapi untuk mereka sendiri.
Orang yang suka memaki
dan bersikap kasar sebenarnya tak menyadari bahwa mereka sedang
menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan kena batunya. Inilah
konsekuensi logis dari hukum alam.
Mempraktikkan konsep memaafkan
akan membuat hidup lebih ringan. Saya ingat, saat sedang duduk menunggu
anak saya sekolah pada minggu lalu, seorang ibu yang lewat menubrukkan
tasnya yang cukup berat ke kepala saya, tanpa permisi apalagi minta
maaf. Orang-orang yang melihat kejadian itu menggeleng-gelengkan kepala
sambil mencela kecerobohannya. Saya mencoba mempraktikkan konsep ini,
dan langsung memaafkannya. Ibu itu kelihatannya sedang kalut. Tak
mungkin ia sengaja menabrak saya begitu saja.
Jika kita menjadi
lebih baik, Tuhan tentu akan memuliakan kita. Jika Tuhan sudah
memuliakan, maka kita tidak akan menjadi hina karena hinaan orang lain.
Untuk mencapai kebahagiaan, berikanlah maaf kepada orang lain. Hentikan
kebiasaan menyalahkan orang lain. Ingatlah, kesempurnaan manusia justru
terletak pada ketidaksempurnaannya. Hanya Allah-lah yang Maha Suci dan
Maha Sempurna. Saya menyukai apa yang dikemukakan Gerarld G Jampolsky
dalam bukunya Forgiveness, The Greatest Healer of All. ''Rela memaafkan
adalah jalan terpendek menuju Tuhan.'' Itulah kunci kemuliaan diri.
No comments:
Post a Comment
Silahkan komentari apa yang telah anda baca...
..... SEMOGA BERMANFAAT .....