Hukum Istri

Hukum Seorang Istri Menolak Ajakan

Referensi: Berbagai Sumber

Gaya hidup modern banyak membawa wanita kepada kesetaraan gender yang pada akhirnya berujung pada hilangnya rasa hormat seorang istri terhadap suaminya. Ketika istri telah merasa mampu berbuat untuk keluarga berkaitan dengan penghasilan sering merasa bahwa dirinya telah mempunyai hak yang sama dalam hirarki keluarga terhadap suaminya. Persoalan tersebut tentu juga terjadi  pada persoalan di ranjang, sering seorang istri dengan mudah menolak ajakan suami untuk berhubungan intim dengan alasan capek atau bahkan lebih memilih untuk pergi shoping daripada melayani suami.

Persoalan seperti ini sebetulnya kemudian menjadi kompleks, karena perlu dipertanyakan apa penyebab seorang istri bersikap seperti itu karena mestinya seorang suami adalah imam bagi istrinya, yang harus mencukupi kebutuhan keluarga, yang harus melarang istrinya meninggalkan kewajiban sebagai pengasuh anak-anaknya, yang harus memerintahkan istri agar lebih mengutamakan kewajiban dirumah dan masih banyak hal lagi.

Walaupun demikian apapun alasan istri untuk menolak hubungan intim dengan suaminya tanpa alasan Syar'i adalah merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama.
Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
Hadits-hadits diatas cukup menjadi dasar tentang haramnya seorang istri menolak ajakan suami tanpa ada alasan yang di benarkan oleh Syar'i.
Sebagian kewajiban istri pada suaminya adalah siap melayani saat diajak ketempat tidur, tidak ada baginya alasan menolok selagi tidak terdapat udzur yang syar’i seperti saat ia sedang sakit, haid atau sedang menjalankan puasa wajib, bahkan boleh bagi suaminya menyenggamainya dengan paksa bila ia menolak untuk diajak bercumbu tanpa adanya udzur diatas.
وَلَا طَاعَةَ لِأَحَدٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَا فِيهِ مِنْ الْمَفْسَدَةِ الْمُوبِقَةِ فِي الدَّارَيْنِ أَوْ فِي أَحَدِهِمَا , فَمَنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ لَهُ , إلَّا أَنْ يُكْرِهَ إنْسَانًا عَلَى أَمْرٍ يُبِيحُهُ الْإِكْرَاهُ فَلَا إثْمَ عَلَى مُطِيعِهِ , وَقَدْ تَجِبُ طَاعَتُهُ لَا لِكَوْنِهِ آمِرًا بَلْ لِدَفْعِ مَفْسَدَةِ مَا يُهَدِّدُهُ بِهِ
Dan tidak ada taat pada seseorang dalam maksiat kepada Allah karena didalamnya mengandung kehancuran yang menyengsarakan didunia dan akhirat atau disalah satu dari keduanya, barangsiapa memerintahkan perkara maksiat maka tidak boleh didengarkan dan ditaati, kecuali bila seseorang memaksa atas perkara yang diperbolehkan untuk dipaksa maka tidak ada dosa mentaatinya bahkan terkadang berubah menjadi wajib mentaatinya bukan atas dasar karena dia berkuasa tapi karena menepis kehancuran akibat ancaman yang ditimbulkannya.
Qawaaid al-Ahkaam fii Mashaalih al-Anaan hal. 158
( ويجب على الزوجة طاعة الزوج في ) جميع ما يأمرها به ويطلبه منها
Dan wajib bagi istri mentaati suaminya dalam setiap yang dia perintahkan dan minta…..
Is’aad ar-Rafiiq I/148
له وطؤها جبرا إذا امتنعت بلا مانع شرعي
Boleh bagi suami menyetubuhi istrinya dengan paksa saat istrinya menolak tanpa adanya alasan yang dilegalkan syar’i.
Hasyiyah Ibn ‘Aabidiin al-Hanaafy III/4
( وَتَسْقُطُ ) النَّفَقَةُ ( بِنُشُوزٍ ) أَيْ خُرُوجٍ عَنْ طَاعَةِ الزَّوْجِ . ( وَلَوْ بِمَنْعِ لَمْسٍ بِلَا عُذْرٍ ) أَيْ تَسْقُطُ نَفَقَةُ كُلَّ يَوْمٍ بِالنُّشُوزِ بِلَا عُذْرٍ فِي كُلِّهِ ، وَكَذَا فِي بَعْضِهِ فِي الْأَصَحِّ وَنُشُوزُ الْمَجْنُونَةِ وَالْمُرَاهِقَةِ كَالْعَاقِلَةِ الْبَالِغَةِ ، ( وَعَبَالَةِ زَوْجٍ ) أَيْ كِبَرِ آلَتِهِ بِحَيْثُ لَا تَحْمِلُهَا الزَّوْجَةُ ، ( أَوْ مَرَضٍ ) بِهَا ( يَضُرُّ مَعَهُ الْوَطْءُ عُذْرٌ ) فِي النُّشُوزِ عَنْ الْوَطْءِ .
Dan nafkah seorang istri menjadi gugur (tidak wajib) bagi suami akibat NUSYUZ (tidak patuhnya istri pada perintah suami) meskipun akibat menolak disentuh tanpa adanya udzur syari, atau terlalu besarnya kemaluan suami sekira istri tidak mampu menanggungnya, atau sebab sakit yang membuatnya riskan menjalani senggama.
Hasyiyah al-Qolyuuby IV/79
قال القمولي في الجواهر : والأولى أن يناما في فراش واحد إذا لم يكن لأحدهما عذر في الانفراد , سيما إذا عرف حرصها على ذلك
Berkata al-Qomuuly dalam al-Jawaahir “Yang lebih baik hendaknya keduanya tidur dalam satu ranjang terlebih bila terlihat keinginan hasratnya ‘untuk melakukannya’ terkecuali bila salah satu dari keduanya punya udzur untuk tidur sendirian”.
Mughni al-Muhtaaj IV/414

No comments:

Post a Comment

Silahkan komentari apa yang telah anda baca...

..... SEMOGA BERMANFAAT .....